berserah diri

berserah diri
bertobat

Senin, 27 Desember 2010

KEHADIRAN SETAN MENJELANG AJAL


Setan yang terkutuk mendatangi anak Adam pada detik-detik terakhir kehidupannya untuk menfitnahnya dalam agamanya apabila dia termasuk kaum muslimin yangmuwahhid (orang yang bertauhid kepada Allah). Oleh karena itu di antara doa yang dibaca Nabi Shalallaahu’alaihi wa sallam adalah:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَدْمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ التَّرَدِّي، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْغَرَقِ، وَالْحَرَقِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِىي، الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mati tertimpa reruntuhan, mati terjatuh dari tempat yang tinggi, dari kepikunan, mati tenggelam, mati terbakar. Dan aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan menjelang ajal, atau mati terbunuh dalam keadaan melarikan diri dari medan pertempuran atau mati karena disengat binatang berbisa.”[1]
(Aku berlindung kepada-Mu dari mati tertimpa reruntuhan) Al-hadmu artinya bangunan runtuh dan menimpa sesuatu. Merupakan bentuk mashdar dari kata hadama al-binaa`u artinya runtuh bangunan itu. Sedangkan maksudnya adalah berlindung dari tertimpa reruntuhan.
(Mati terjatuh dari tempat yang tinggiAt-taraddi artinya jatuh dari sesuatu yang tinggi ke yang rendah, dan jatuh dari tempat yang tinggi seperti gunung, atap atau jatuh ke tempat yang rendah seperti sumur.
(Mati tenggelam dan terbakar) yaitu tenggelam dalam air dan terbakar oleh api. Sesungguhnya Nabi Shalallaahu’alaihi wa sallam meminta perlindungan dari kebinasaan dengan sebab-sebab tersebut, walaupun dengan hal tersebut dapat diperoleh pahala syahadah (mati syahid). Sebab keseluruhan sebab di atas merupakan ujian yang berat dan merisaukan, hampir-hampir manusia tidak bisa bersabar dan tegar menghadapinya.
(Dan kepikunan) Maksudnya buruknya masa tua yang digambarkan dengan kacaunya pikiran, dan usia yang paling buruk agar tidak mengetahui sesuatu yang sebelumnya telah diketahuinya.
(Dan aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan menjelang ajal) yaitu Iblis atau salah satu pembantunya.
At-takhabbuth artinya berbuat kerusakan, yaitu merusak akal dan agama, maksudnya merasukiku dan mempermainkan aku.
Ada yang berpendapat kata khabathahu asy-syaithaan wa takhabbathahu, artinya mengganggunya dan merusaknya. Makna asal kata al-khabathu adalah unta menendang sesuatu dengan ladam kakinya.
(Ketika menjelang ajal) Nabi Shalallaahu’alaihi wa sallam mengkhususkannya dengan hal tersebut karena seluruh amal terletak pada akhirnya. Rasulullah Shalallaahu’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita supaya meminta per lindungan (kepada Allah) dari jahatnya bujuk rayu setan yang menghampiri seorang mukmin menjelang ajal sehingga ia tergelincir dan tidak mengetahui apa-apa.
Al-Khaththabi Rahimahullah berkata, “Nabi Shalallaahu’alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari gangguan setan menjelang ajalnya, agar setan tidak menguasai dan menyesatkannya ketika akan meninggalkan dunia ini, menghalanginya bertaubat, merintanginya untuk memperbaiki dirinya dan keluar dari kegelapan yang bersemayam dalam kalbunya. Atau membuatnya berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, membenci kematian, dan merasa berat meninggalkan kehidupan akhirat sehingga dia tidak rela dengan kefanaan yang telah Allah tetapkan atasnya, dan tidak rela berpindah menuju negeri akhirat. Akhirnya manusia tersebut mati dalam keadaan su`ul khatimah dan menjumpai Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan murka kepadanya.”[2]
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa gangguan terberat yang dilakukan oleh setan terhadap anak Adam terjadi di saat-saat terakhir kematiannya. Setan berkata, “Ambillah ini! Karena jika hari ini engkau terluput darinya niscaya engkau tidak dapat memperolehnya selama-lamanya.”
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatannya, dan kita memohon kepada-Nya melimpahkan berkah-Nya kepada kita saat itu terjadi, menutup akhir hidup kita dan hidup seluruh kaum muslimin dengan akhir yang bahagia, dan menganugerahi kita dengan hari yang sebaik-baiknya saat berjumpa dengan-Nya.
([Aku berlindung kepada-Mu dari] mati dalam keadaan melarikan diri di jalan-Mu) yaitu mati dalam keadaan murtad, atau berpaling dari mengingat-Mu dan menghadap kepada selain-Mu.
Ath-Thiibi berkata, “Maksudnya lari dari medan pertem puran.” Dan pendapat ini diikuti oleh Ibnu Hajar al-Makki seraya berkata, “(yaitu) berpaling yang diharamkan atau yang mutlak.”
Hadits di atas termasuk dalam bentuk pengajaran terhadap umat ini. Kalau bukan untuk mengajari umat maka Rasulullah Shalallaahu’alaihi wa sallam tidak mungkin berlindung dari gangguan setan, melarikan diri dari medan pertempuran dan penyakit-penyakit kritis lainnya.
(Aku berlindung kepada-Mu dari mati dalam keadaan disengat binatang berbisa). Kata ladiighdalam hadits ini satu wazan (timbangan) dengan kata fa’iil yang bermakna maf’uul dari al-ladghu. Kata ini dipergunakan pada setiap binatang berbisa seperti kalajengking, ular dan sebagainya.[3]

[1] Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (III/427), Abu Dawud (1552), an-Nasa`i (VIII/282, 283) dan al-Hakim (I/351- 352) dishahihkan dan ditetapkan oleh adz-Dzahabi.
[2] ‘Aunul Ma’buud (IV/287) karya Abu ath-Thiib al-‘Azhiim Aabaadi dan Syarh as-Suyuuthi ‘alaa an-Nasaa`i (VIII/283)
[3] ‘Aun al-Ma’buud (IV/287) dan Haasyiyah as-Suyuuthi (VIII/282, 283).
———————————————————————–
Dikutip dari buku : “Terputusnya Ilmu Para Ulama” Penerbit: Pustaka At-Tibyan, Solo
Rating: 9.0/10 (4 votes cast)
Rating: +3 (from 3 votes)

Minggu, 26 Desember 2010

Mungkinkah Allah Mengampuniku?


Kategori Akhlaq dan NasehatAqidah

Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, mungkin ada yang bertanya, “Aku ingin bertaubat, namun dosaku terlalu banyak. Tidak ada satu macam perbuatan keji pun melainkan telah kukerjakan. Tidak ada satu bentuk dosa pun melainkan aku telah terjerumus ke dalamnya. Mungkinkah Alloh mengampuni dosa-dosaku?!!”
Bagi siapa saja yang merasa dosanya sulit diampuni maka perhatikanlah kisah berikut ini.
Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa
Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ia bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, maka ia ditunjukkan kepada seorang rahib (ahli ibadah), lalu ia mendatangi rahib tersebut dan berkata, ‘Jika ada orang yang membunuh 99 jiwa, apa taubatnya bisa diterima?’ Rahib pun menjawab, ‘Tidak.’ Lalu orang tersebut membunuh rahib itu sehingga genap sudah dia membunuh 100 nyawa. Kemudian ia kembali bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi, lalu ia ditunjukkan kepada seorang yang ‘alim, lalu dia berkata, ‘Jika ada orang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih ada pintu taubat untuknya?’ Orang alim itu pun menjawab, ‘Ya Siapakah yang menghalangi nya untuk bertaubat? Pergilah ke daerah ini karena di sana terdapat sekelompok orang yang menyembah Alloh Ta’ala, maka sembahlah Alloh bersama mereka dan janganlah kembali ke daerahmu yang dulu karena daerah tersebut adalah daerah yang jelek.’ Laki-laki ini lantas pergi menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut. Ketika sampai di tengah perjalanan, maut menjemputnya. Maka terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini pergi untuk bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Alloh’. Sedangkan malaikat azab berkata, ‘Sesungguhnya orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun’. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai juru damai. Malaikat ini berkata, ‘Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju,pen.), daerah yang jaraknya lebih dekat, maka daerah tersebut yang berhak atas orang ini.’ Mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan teryata orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju, Oleh karena itu ruhnya dibawa oleh malaikat rahmat.” (HR. Bukhori & Muslim)
Wahai saudaraku, siapakah yang dapat menghalangi dari pintu taubat? Laki-laki ini telah membunuh 100 nyawa dan dia telah Alloh ampuni. Jika demikian mengapa Anda berputus asa dari rohmat Alloh dan ampunan-Nya yang begitu luas ??!
Pesan yang Terkandung Dalam Kisah di Atas
Pertama; Pembunuh masih memiliki kesempatan untuk bertaubat. Dalilnya adalah firman Alloh yang artinya,“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, namun Dia mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, bagi siapa yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 48). Yaitu Alloh mengampuni dosa-dosa di bawah syirik, apabila Dia menghendaki. Ini merupakan pendapat mayoritas para ulama. Ayat ini juga menunjukkan tentang keutamaan ikhlas dan ikhlas merupakan sebab dosa terampuni.
Kedua; Hati ahli maksiat lebih mudah tergugah untuk bertaubat kepada Alloh daripada ahli bid’ah karena dia merasa berbuat salah.
Ketiga; Orang yang berilmu lebih utama daripada ahli ibadah karena ahli ibadah yang jahil (bodoh) terkadang dengan kejahilannya bertindak ‘ngawur’ sekalipun menurut dia hal itu baik. Bertitik tolak dari hal ini dapat diketahui bahwa orang yang terjun berdakwah, harus memiliki ilmu agar tidak membuat kerusakan yang lebih besar.
Keeempat; Orang yang bertaubat hendaknya berpindah dari lingkungan yang jelek ke lingkungan yang baik. Karena bergaul dengan orang-orang sholeh merupakan penyebab iman menjadi kuat dan tipu daya syaithon makin lemah.
Luasnya Ampunan Alloh
Pembaca yang semoga dirahmati Alloh, perhatikanlah hadits qudsi berikut yang menceritakan luasnya ampunan Alloh Subhanahu wa Ta’ala!!
Dari Anas rodhiyallohu ‘anhu“Saya mendengar Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, Alloh Ta’ala berfirman, ‘…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani di Shohihul Jaami’)
Semoga Alloh menerima taubat dan membersihkan dosa-dosa kita. Amiin.
***
Penulis: Abu Isma’il M. Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Shalawat Nariyah


Kategori Aqidah 

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Penulis: Muhammad Jamil Zainu
Diterjemahkan oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id